Ziarah kubur merupakan perkara yang disyariatkan dalam agama kita dengan tujuan agar orang yang melakukannya dapat mengambil pelajaran dengannya dan dapat mengingati akhirat. Syaratnya adalah dengan tidak mengatakan di sisi kuburan tersebut ucapan-ucapan yang akan membuat Allah Subhanahu wa Ta'ala murka, seperti berdoa kepada si ‘penghuni’ kuburan, memohon pertolongan kepadanya, memberi tazkiyah (jaminan) kepada penghuni kuburan, dan memastikan dia masuk Syurga atau seumpamanya. (Ahkamul Janaiz halaman 227)
Sebelum kita berbicara tentang adab ziarah kubur bagi wanita, terlebih dahulu perlu sekali kita tahu hukumnya. Boleh atau tidak? Sebab tidak ada gunannya kita berbicara tentang adab bagi wanita kalau hukum syariat tidak membolehkannya.
Sunnahnya Ziarah Kubur
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Dulu aku pernah melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah kamu. Kerana ziarah kubur akan mengingatkan kepada akhirat. Dan hendaklah berziarah itu menambah kebaikan buat kamu. Maka barangsiapa yang ingin berziarah silakan berziarah dan janganlah kamu mengatakan perkataan yang bathil (hujran).” (HR. Muslim, Abu Dawud, Al Baihaqi, An Nasa’i, dan Ahmad)
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Majmu’ 5/310 : “Hujran ertinya ucapan yang bathil”.
Imam Shan’ani rahimahullah menyatakan dalam Subulus Salam 2/162 setelah menyebutkan hadith-hadith tentang ziarah dan hikmahnya : “Semuanya menunjukkan disyariatkannya ziarah kubur dan menerangkan hikmahnya iaitu untuk mengambil pelajaran … . Dan jika bukan dari hal ini (maka) tidak terpenuhi tujuan syariat.”
Wanita Sama Dengan Lelaki Dalam Disunnahkannya Ziarah Kubur
Tentang persamaan hukum ziarah kubur antara wanita dan lelaki ini, Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz halaman 229 menyatakan :
Pertama, kerana keumuman perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “ … maka berziarahlah kalian ke kubur.” Bererti wanita juga termasuk di dalamnya. Penjelasannnya, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tatkala melarang ziarah kubur pada awalnya tidak diragukan lagi bahawa larangan itu juga mencakup lelaki dan wanita sekaligus. Maka ketika beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Aku dulu melarang kalian berziarah ke kubur.” Difahami bahawa yang dimaksudkan adalah lelaki dan wanita secara pasti. Dan memberikan khabar kepada mereka tentang awal peringkat dengan melarang lelaki dan wanita. Jika perkaranya demikian, maka pasti ucapan kedua (yakni pembolehan) juga mencakupi lelaki dan wanita. Dan yang menguatkan pendapat ini adalah lanjutan dari hadith tersebut yang diriwayatkan oleh Muslim, iaitu : “Dulu aku melarang kalian tentang daging sembelihan yang lewat tiga hari maka peganglah apa-apa yang tampak pada kalian. Dulu aku juga melarang nabiz untuk diminum maka minumlah sekarang semuanya dan jangan meminum yang memabukkan.” Saya (Al Albani) katakan : Ucapan semua ini juga berlaku terhadap dua (yakni lelaki dan wanita) secara pasti, sebagaimana ucapan pertama : “Dulu aku melarang kalian.” Jika ada yang berkata, ucapan dalam kalimat “sekarang berziarahlah” adalah khusus untuk lelaki sahaja maka akan rosak susunan bahasa dan keindahannya. Juga tidak pantas hal itu ditujukan kepada pemilik ucapan (Jawami’ul Kalim) yang singkat padat ini. (Jawami’ul Kalim yakni Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam).
Kedua, saling berserikatnya para wanita dengan pria dalam ‘illat (penyebabnya) yang karena itu disyariatkan ziarah kubur yaitu dalam riwayat : “Karena ziarah kubur bisa melunakkan hati, meneteskan air mata, dan mengingatkan kepada akhirat.”
Ketiga, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membolehkan bagi wanita untuk berziarah ke kuburan. Dalam dua hadith dari Ummul Mukminin ‘Aisyah radliyallahu 'anha disebutkan :
Dari ‘Abdullah bin Abi Mulaikah ia berkata : Sesungguhnya ‘Aisyah pulang dari perkuburan pada suatu hari. Maka aku bertanya kepadanya : “Wahai Ummul Mukminin, dari manakah engkau?” Ia menjawab : “Dari kuburan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar.” Maka aku katakan kepadanya : “Bukankah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melarang ziarah kubur?” Ia menjawab : “Benar, tapi kemudian beliau menyuruh berziarah ke kubur.” (HR. Hakim, Al Baihaqi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Majah, dan Ibnu Abi Dunya. Al Hakim mendiamkan hadith ini. Adz Dzahabi berkata shahih, Al Bushiri berkata dalam Az Zawaid 1/988 : Sanadnya shahih, rijalnya tsiqat. Saya (Al Albani) berkata : Hadith ini keadaannya memang seperti yang mereka berdua katakan)
Dari Muhammad bin Qais bin Makramah bin Al Muththalib, ia berkata pada suatu hari : Mahukah kalian kuceritakan tentangku dan tentang ibuku? Maka kami mengira dia memaksudkan ibu yang melahirkannya. Dia berkata : ’Aisyah pernah berkata : “Mahukah kalian aku ceritakan tentangku dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?” Maka kami menjawab : “Tentu.” ‘Aisyah lalu berkata : Ketika pada malam giliranku, beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ada bersamaku. Beliau berbalik meletakkan selendang dan melepaskan dua sandalnya serta meletakkannya di bawah kakinya. Kemudian membentangkan hujung sarungnya di atas tempat tidur. Lalu berbaring. Tidak berapa lama setelah itu beliau menyangka aku telah tidur. Maka beliau memakai selendang dan sandalnya secara perlahan-lahan. Setelah itu beliau membuka pintu dan menutupnya kembali dengan perlahan. Maka aku pun melepas pakaian rumah dan memakai tutup kepala serta bertopeng dengan sarungku. Lalu pergi membelakangkan beliau sampai tiba di Baqi’. Beliau tegak dengan lama di tempat itu dan mengangkat kedua tangannya tiga kali. Kemudian beliau berpaling (berbalik untuk kembali ke rumah), aku pun berpaling. Beliau berjalan cepat, aku juga berjalan cepat. Beliau berlari, aku juga berlari. Hingga beliau akan sampai (ke rumah), aku juga demikian. Maka aku pun mendahului beliau lalu masuk ke rumah dan berbaring. Kemudian beliau masuk dan berkata : “Ada apa denganmu, wahai ‘Aisyah? Seakan-akan isi perutmu terangkat karena berlari cepat?” Aku menjawab : “Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah.” Beliau berkata : “Engkau katakan atau Allah yang akan menceritakan sebenarnya kepadaku.” Aku berkata : “Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku.” Maka aku ceritakan kejadiannya. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berkata : “Berarti engkau benda hitam yang kulihat di depanku tadi?” Aku menjawab : “Benar.” Maka beliau memukul dadaku dengan pukulan yang menyakitkanku, lalu beliau bersabda : “Apakah engkau mengira Allah akan berbuat aniaya kepadamu dan Rasul-Nya juga berbuat demikian?” Aku berkata : “Bagaimanapun disembunyikan oleh manusia akan diketahui juga oleh Allah.” Beliau berkata : “Jibril mendatangiku kemudian memanggilku maka aku menjawabnya. Dan dia tidak mau masuk karena ada engkau karena engkau sudah melepas pakaianmu. Aku mengira engkau telah tidur dan aku tidak suka membangunkanmu. Aku khawatir engkau merasa tidak senang. Maka Jibril berkata : ‘Sesungguhnya Rabbmu menyuruhmu datang ke penghuni Baqi’ dan memohonkan ampun untuk mereka’.”
Aku (‘Aisyah) berkata : “Apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kuburan) wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : “Katakanlah :
Semoga keselamatan tercurah bagi para penghuni kuburan ini dari kalangan Mukminin dan Muslimin. Dan semoga Allah merahmati orang yang terdahulu dan orang yang belakangan dari kita. Dan kami Insya Allah akan menyusul kalian.” (HR. Muslim, An Nasa’i, Abdurrazzaq, dan Ahmad)
Hadihs ini dijadikan dalil oleh Al Hafidh dalam At Talkhish 5/248 tentang bolehnya berziarah bagi wanita. Dan ini adalah dhahir hadits. Hadits ini menguatkan pendapat bahwasanya rukhshah untuk berziarah kubur setelah sebelumnya dilarang juga mencakup para wanita. Dan kisah itu terjadi di Madinah karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah tinggal bersama ‘Aisyah. Sedangkan larangan ziarah kubur terjadi ketika masih di Makkah. Kita tetap menegaskan hal ini walau kita tidak tahu sejarah yang menguatkannya karena kesimpulan yang benar menguatkan hal tersebut yaitu ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Dulu aku melarang kalian.” Sabda Nabi ini tidak bisa dipahami bahwa larangan ziarah kubur ditetapkan di Madinah bukan di Makkah yang memang di sana kebanyakan yang disyariatkan adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan tauhid dan akidah. Dan larangan ziarah ketika itu adalah untuk menutup pintu bahaya (saddudz dzari’ah) menuju kesyirikan dan jelas dicetuskan ketika periode Mekkah sebab para shahabat baru meninggalkan jahiliyah dan baru masuk Islam. Hingga ketika tauhid telah kokoh di dalam hati-hati mereka dan setelah mereka tahu jenis-jenis syirik yang mengakibatkan kerusakan tauhid maka setelah itu beliaupun membolehkan ziarah kubur. Adapun kalau beliau membiarkan mereka selama periode Makkah dalam kebiasaan mereka berziarah kemudian beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu di Madinah maka ini jauh sekali dari hikmah syariat. Oleh karena itu kita menetapkan bahwa larangan tersebut dilontarkan ketika masih di Makkah. Jika demikian maka ijin beliau kepada ‘Aisyah untuk berziarah di Madinah adalah dalil yang jelas tentang apa yang kita sebutkan.
Perhatikanlah, karena hal itu membuat sesuatu dalam hati. Dan saya (Al Albani) belum melihat ada yang mensyarah seperti ini. Jika saya benar itu dari Allah, jika salah dari diriku.
Keempat, ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam kepada seorang wanita yang beliau lihat berada di sisi kuburan, dalam hadith Anas radliyallahu 'anhu :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah melewati seorang wanita yang menangis di sisi kuburan maka beliau bersabda : “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah … .” (HR. Bukhari dan lain-lain)
Al Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari : “Sisi yang dijadikan argumentasi dari hadith ini adalah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak mengingkari duduknya wanita tersebut di sisi kuburan dan ucapan beliau adalah hujjah.”
Dalam Al Umdah 3/76, Al ‘Aini rahimahullah berkata : “Dalam hadith ini ada pembolehan ziarah kubur secara mutlak. Sama saja apakah yang berziarah lelaki atau wanita dan apakah yang diziarahi Muslim atau kafir. Karena tidak adanya pemisahan dalam hal itu.” Al Hafiz juga menyebutkan demikian di akhir ucapannya tentang hadith di atas.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan bahwasanya Jumhur berpendapat ‘boleh’ yakni ziarah kubur bagi wanita. Pengarang Al Hawi (Abul Hasan Al Mawardi rahimahullah) berkata : “Tidak boleh menziarahi kuburan orang kafir.” Dan ini adalah pendapat yang salah. ] (Ahkamul Janaiz halaman 229-234)
Syaikh Mushthafa Al Adawi hafizhahullah dalam Jami’ Ahkamin Nisa’ setelah membawakan alasan kedua belah pihak (yang melarang dan yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita) berkata : [ Kesimpulan dalam hal ini --dan ilmunya hanya pada Allah-- dan melihat dalil-dalil yang membolehkan dan melarang adalah kita berpendapat sebagai berikut :
Pertama : Hadith-hadith yang membolehkan lebih shahih daripada hadith-hadith yang melarang. Dan tidak ada hadith yang kuat dalam melarang kecuali hadith:
“Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang sering ziarah kubur.”
Kedua : Telah diterangkan bahwa lafadh ‘zawwarat’ maknanya adalah wanita yang sering ziarah kubur, maka tidak termasuk di dalamnya wanita yang hanya berziarah sekali-kali.
Ketiga : Hadith : “Semoga Allah melaknat wanita-wanita yang sering ziarah kubur.” Disebutkan oleh sebagian ulama bahwa hadits ini telah mansukh (dihapus) dengan hadits : “Dulu aku pernah melarang kalian berziarah ke kubur, sekarang berziarahlah, karena ziarah kubur akan mengingatkan kepada akhirat.” Dan wanita jelas juga butuh mengingat akhirat seperti pria.
Keempat : Apa yang difahami oleh ‘Aisyah radliyallahu 'anha dan dia adalah seorang wanita --bahkan ibu para wanita dan ibu kita-- yang perintah berkaitan dengan mereka (para wanita) juga menerangkan bahwa Rasulullah mengajarkan apa yang harus diucapkannya jika datang ke kuburan. Dan ‘Aisyah sendiri juga berziarah ke kubur saudaranya. Semua ini menunjukkan bolehnya seorang wanita berziarah ke kubur dan ini menguatkan pendapat yang membolehkan itu. Wallahu A’lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/580)
LARANGAN BAGI WANITA UNTUK SERING-SERING BERZIARAH
Syaikh Al Albani menyebutkan : [ Akan tetapi tidak boleh bagi para wanita untuk sering-sering berziarah kubur kerana itu akan membawa kepada hal-hal yang melanggar syariat, seperti : Berteriak-teriak, tabaruj, menjadikan kubur sebagai tempat pertemuan, dan menyia-nyiakan waktu dengan ucapan-ucapan yang sia-sia sebagaimana tampak pada hari ini di sebagian negeri kaum Muslimin. Insya Allah inilah yang dimahukan dalam hadith yang masyhur :
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam (dalam riwayat lain : Allah) melaknat wanita-wanita yang sering berziarah ke kubur. (Hadith ini diriwayatkan dari beberapa shahabat seperti Abu Hurairah, Hasan bin Tsabit, dan ‘Abdullah bin Abbas radliyallahu 'anhum. Diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, dan lain-lain)
Imam Tirmidzi rahimahullah berkata : “Hadits ini hasan shahih.” Sebahagian ulama berpendapat bahawa ini sebelum dibolehkannya berziarah oleh Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Ketika ziarah kubur telah diperbolehkan maka masuk dalam kebolehan itu lelaki dan wanita. Sebahagian mereka (ulama) berkata bahawa beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memakruhkan wanita untuk berziarah kerana kurangnya kesabaran mereka dan sukanya mereka berkeluh kesah. ]
Setelah Syaikh Al Albani rahimahullah membahas tentang lafaz dan beliau berkata : [ Dari takhrij hadits jelas bahwa yang lebih kuat adalah lafaz (yakni wanita yang sering ziarah).
Jika masalahnya demikian, lafaz ini (wanita yang sering ziarah) menunjukkan bahawa yang dilaknat hanyalah wanita yang banyak ziarah sedangkan wanita yang tidak sering ziarah tidak terkena laknat. Maka tidak boleh hadith yang khusus ini membantah hadith-hadith umum yang menunjukkan disunnahkannya ziarah kubur bagi wanita. Masing-masing dari hadith-hadith tersebut diamalkan pada tempatnya. Cara penjama’an (dikompromikan) ini lebih bagus daripada cara naskh (penghapusan salah satunya), dengan cara seperti ini segolongan ulama berpendapat.
Imam Qurthubi rahimahullah berkata : “Laknat yang tersebut dalam hadith adalah bagi wanita yang sering berziarah bentuk katanya demikian. Mungkin sebab yang membawa ke sana adalah wanita itu akan menyia-nyiakan hak suami dan bertabaruj serta timbulnya suara jeritan dan sejenisnya.
Dalam Nailul Authar 4/95 Imam As Syaukani rahimahullah berkata : “Dan ini adalah ucapan yang pantas untuk dijadikan pegangan di dalam mengkompromikan hadith-hadith yang bertentangan dalam bab ini secara dhahirnya.” ] (Ahkamul Janaiz 235-237)
Telah berkata Syaikh Mushthafa Al Adawi hafidhahullah : [ Perhatikan :
1. Jika diketahui dari keadaan para wanita kalau mereka pergi ke kubur akan berteriak-teriak, meratap-ratap, dan melakukan bid’ah dan keharaman maka haram ketika itu bagi mereka untuk berziarah ke kubur. Menolak bahaya lebih didahulukan daripada mendapatkan kebaikan.
2. Jika diketahui dari keadaan mereka yang demikian itu bahawa kalau mereka pergi ziarah ke sebahagian orang yang dianggap shalih dan wali Allah mereka akan melakukan permohonan untuk dihilangkan bahaya, menunaikan keperluan, dan menghilangkan kesusahan serta yang sejenisnya maka ini adalah syirik. Dan ketika itu diharamkan bagi para wanita untuk berziarah.
3. Jika para wanita pergi dengan tabaruj dan menggunakan perfum(pewangi) maka juga haram bagi mereka untuk keluar ziarah.
4. Jika para wanita mengkhususkan untuk berziarah ke kubur pada hari itu sebagaimana yang terjadi dengan mengkhususkan hari Jum’at dan hari-hari besar atau sejenisnya maka ini termasuk bid’ah yang Allah tidak menurunkan keterangan atasnya. Semoga Allah memberikan bimbingan untuk kita dalam mengikuti Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/581)
Dari keterangan-keterangan di atas jelas bagi kita bahwa dibolehkan bagi para wanita untuk ziarah kubur dengan adab-adab sebagai berikut :
1. Tidak sering-sering.
2. Tanpa bertabaruj.
3. Tidak mengeluarkan kata-kata yang salah, seperti meratap, menjerit-jerit, terlebih lagi melakukan kesyirikan seperti meminta kepada si mayit, beristighatsah kepadanya, dan lain-lain.
4. Menunaikan adab seperti adab wanita Muslimah keluar rumah.
5. Mengambil pelajaran dan untuk mengingat akhirat.
Wallahual'am
apa2 aja...
13 years ago
0 ulasan:
Post a Comment